Mengisi Hari

Tuhan Karuniakan Akal dan Hati untuk Mendekat Pada-Nya

17.9.06

Menelisik Sisi Buruk Televisi

Dosen muda Fakultas Ilmu Pendidikan Sunawan masih mempresentasikan analisisnya tentang buku "Matikan TV-mu." Sesekali Sunardian sang penulis buku menoleh ke belakang kami, melihat sejenak pantulan slide yang mengiringi presentasi.
Sebelumnya Sunardian yang asli Yogyakarta mengawali bedah buku pagi itu dengan ulasan sekilas fenomena televisi. Teelvisi sendiri memang menjadi teknologi yang dilematis. Keunggulan sebagai media audio visual justru dirasakan sebagai dampak buruk. Betapa tidak, pola pikir bangsa Indonesia dibentuk oleh para insan di sekitar dunia televisi. Inilah yang mungkin membuat Hima Bimbingan Konseling FIP Unnes untuk membedah buku terbitan Resist Book ini di Gedung Serba Guna FIP Unnes, Selasa (23/5).
Saya sendiri diminta mengisi acara atas nama BP2M Unnes yang menurut panitia merepresentasikan pihak media. Acara pagi itu memang debut saya sebagai pembicara. Saya merasa menghabiskan malam sebelumnya untuk menyelesaikan buletin Express tidak mengganggu performa di depan para peserta. Berbekal catatan singkat terkait poin yang saya soroti dari buku yang diberikan panitia, saya pun segera meraih mikrofon segera setelah dipersilahkan moderator Saiful Alim.
Saya sampaikan kepada semua yang berada di ruang, bisa jadi buku yang sedang dibedah merupakan black market produk bisnis pertelevisian dan pesawat televisi. Namun sejujurnya, buku yang konon dibuat dalam waktu dua minggu itu memang menarik. Membawa pembaca KKL di dunia broadcaster.
Entah bagaimana ekspresi Pak Sunardian yang tepat di samping kanan saya ketika pembicaraan saya lanjutkan. Kritik kesalahan pemahaman modal sekecilnya untuk laba sebesarnya memang terang saya koreksi. Biaya tertentu hasil sebesarnya atau biaya sekecilnya untuk hasil tertentu, seperti itu baru benar.
Sebagai media berpengaruh besar, televisi memeng banyak disoroti terlalu patuh kepada keinginan pemasang iklan. Bahkan ada program yang dirancang khusus untuk kepentingan pemasang iklan.
Iklan sendiri memang menjadi keniscayaan. Justru independensi sebuah media dipertanyakan ketika hidupnya tidak dengan iklan. Ketika media hidup dari dana yang dikucurkan pemerintah, bagaimana idealisme televisi ketika pemerintah berbuat salah? Padahal media menjalani fungsi kontrol terhadap penguasa khususnya jika hukum dan peran yudikatif tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Sunardian sempat mengungkapkan, kebanyakan TKI yang pulang selalu membawa hadiah televisi untuk orang tua sebagai tanda kesuksesan. Dari televisi itulah pola pikir masyarakat sekitar terpengaruh. "Selera Jakarta" pun menjadi selera seluruh Indonesia. Yang menggelitik, kondisi itu ditafsirkan sebagai kesuksesan TKI menjalankan fungsi agent of change yang lebih efektif dari mahasiswa.
Terkait televisi, ilmu pemasaran yang semester ini banyak saya ambil dapat menjelaskan. Memasarkan produk sendiri memang mengenal teknik meng-edukasi pasar. Maksudnya, calon konsumen yang awalnya tidak merasa membutuhkan harus dibuat merasa membutuhkan produk. Bisajadi itulah yang disebut mengeksploitasi konsumen.
Meski menyadari presentasi yang saya bawakan terlalu sumir, namun poin-poin yang tersampaikan setidaknya membuat terhibur. Ada kepuasan ketika dapat enjoy berpanel dengan seorang penulis dan praktisi pertelevisian. Ketenangan Pak Sunardian memberi saya inspirasi menghadapi forum ilmiah. Sedikit diskusi sambil menuggu giliran presentasi pun membuat nyaman.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home