Mengisi Hari

Tuhan Karuniakan Akal dan Hati untuk Mendekat Pada-Nya

12.4.07

Dari Komunitas ke Legal Formal

Meski nggak sekental FIS, nuansa politis masih terasa di lembaga kemahasiswaan (LK) FE. Kadang, ini yang membuatku harus adaptasi. Maklum, dari awal masuk aku banyak diasuh Kerohanian Islam (rohis) dan media kampus. Dua organisasi yang berbasis komunitas, yang lebih menekankan rasa senasib sepenanggungan daripada aturan formal.
Kesannya, LK begitu panas awal persaingan menjadi ketua, memasukkan pengurus sampai gontok-gontokan konsep acara. Singkatnya, politik tuh haus kekuasaan dan dekat dengan 'penindasan'. Wuiihh...ngeri. Tapi gak apa-apa. Bisa jadi yang masih menganggap gitu, belum memahami esensi sebuah politik (termasuk aku). Padahal kalo dipikir-pikir, sejak awal politik muncul kan untuk mengatur banyak orang. Yang banyak kepentingan, beragam latar belakang dan berbeda pemikiran. Muaranya kan sama, hidup tentram, adil dan sejahtera.
Lha gimana mau mencapai tentram, orang musyawarah (pemilihan) saja sudah menimbulkan keributan. Gimana mau tentram, setiap saat ada kecurigaan. Gimana mau adil, lha yang dikasih amanat hanya mengurusi dirinya. Gimana juga mau sejahtera lha yang dipimpin gak percaya dengan aturan yang ada. Bisa jadi itulah gambaran politik di dunia nyata. Di tingkat masyarakat sungguhan tapi. Di kampus mah sekadar miniatur. Kekuasaannya masih didalam batasan pagar kampus.
Realita itulah yang membuatku berpikir untuk sedikit "membelokkan" kiblat politik kampus. Dari politik "red ocean" ala Pergerakan Ekstra Kampus menjadi "blue ocean" ala komunitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kalau di masa reformasi istilah "high politic" sempat mengemuka, istilah "blue ocean" pun baru mengemuka baru-baru ini di dunia bisnis. Aku pikir, konsep itu menarik untuk diadopsi.
Pendekatan persaingan antar LK maupun antar kepentingan sebenarnya lebih indah kalau diarahkan ke pendekatan kemitraan. Bukankah itu gagasan awal timbulnya kegiatan kemahasiswaan. Idealisme yang memimpikan mahasiswa siap bermasyarakat, memimpin dan menjadi agen perubah masyarakat setelah ditempa didunia intelektual.
Makanya, waktu ada berbagai kepentingan mulai masuk LK, dialog dan tukar pandangan bisa menjadi media. Tentu menuntut saling pamahaman dan pengertian. Begitupun saat beberapa pengurus BEM FE mencalonkan diri menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Profesi (tingkat Jurusan) akhir Maret lalu. "Kalo memang kalian dipercaya teman-teman jurusan, why no?" kataku. "Asal jangan gunakan posisi pengurus BEM untuk kepentingan pemilihan."
Jadilah Agi Suprayogi (sekretaris Dept Pendidikan dan Pengembangan mahasiswa) memuncaki perolehan suara di jurusan Akuntansi. Rizky Rachmandany (Kadept Kesejahteraan mahasiswa) memimpin Himpro Manajemen dan Yosi Aulia Rahman yang pernah kuajak masuk pengurus BEM FE sebagai ketua Himpro Ekonomi Pembangunan. Semua bisa jadi bermitra untuk membangun hubungan kekeluargaan di FE. So, sistem Keluarga Mahasiswa bukan hanya slogan di bibir dan di kain background kegiatan semata.
Tentu semua perlu didasari niat baik. Dan karena tidak ada jaminan semua orang punya niat baik, waspada pun menjadi solusi perisai. Kekeluargaan bukan berarti tanpa aturan, tanpa kepeminpinan tanpa pengarahan. Kalau ada yang menyimpang, diluruskan. Kalau ada perbedaan, dimusyawarahkan. Seperti ungkapan di dunia jurnalis, "Menghibur yang sedang sedih, memukul yang sedang gembira." Ada kaitannya gak sih?


1 Comments:

  • At 10:27 am, Blogger Abida Muttaqiena said…

    assalammu'alaikum ^_^ salam kenal (tapi bapak udah kenal sama saya kok). Cuma mau bilang...sepertinya bapak lebih cocok jadi politikus daripada jurnalis, deh...

     

Post a Comment

<< Home