Mengisi Hari

Tuhan Karuniakan Akal dan Hati untuk Mendekat Pada-Nya

14.1.06

Malu pada Bapak Para Anbiya


Begitu lirik lagu grup nasyid Snada. Syair yang barangkali sudah sangat dihafal penggemarnya. Namun, Idul Adha lalu mendadak seperti baru mendengar kata itu. Ya, betapa malu kita pada Ibrahim yang tanpa banyak kata begitu patuh pada perintah. Hal yang tidak mudah, membunuh anak kandung sendiri!

Kita bukan Nabi memang. Namun wajarkah bila menjadikan sebagai alasan untuk tidak bisa seperti para Nabi, suatu pertanyaan untuk diri. Para Nabi pun manusia yang diberi "peluang" untuk berbuat khilaf. Bisa jadi kita yang selama ini merendahkan kemuliaan Nabi sebagai sesuatu yang "terima matang", sudah saatnya membuka kembali ingatan. Betapa kerasnya Ibrahim dalam mencari kebenaran di awal masa mudanya. Berada di lingkungan penyembah thagut yang bisa jadi tak jauh berbeda dengan kondisi sekarang.

Malu, mungkin itu benteng terakhir kita. Menjadikannya perisai atas kesalahan-kesalahan. Kesalahan yang barangkali terlihat sebagai perjuangan. Kekhilafan yang terbungkus pengorbanan. Tuhan memang Maha Pengampun, namun juga Maha Adil. Sekiranya naik-turunnya iman di luar koridor batasnya, siapa yang tahu?

Kabut dunia memang terus menebal. Banyak sekali warna abu-abu dan warna kombinasi, kreatif lah. Banyak sekali gambar negatif, hitam tampak putih, putih tampak hitam. Tanpa perisai diri, mau jadi apa kita?

Menyandang gelar serendah-rendahnya iman. Barangkali tidak terlalu terhormat. Tapi, tidakkah kita merasa terancam untuk gelar "tidak beriman?".

11.1.06

Mengasah Nurani Jurnalis di Jakarta

Awal mendengar pelatihan jurnalistik ini, bisa terbayang seperti Pendidikan Jurnalistik Dasar. Tambah angle Islami mungkin. Sempat pula ada yang menyarankan untuk memberi kesempatan pada yang lain, yang benar-benar belum menyentuh dunia jurnalistik kampus.
Namun, bisa jadi tekat untuk sendirian mencari dan mendatangi kantor redaksi Tarbawi memang perlu. Perasaan tertantang sekaligus jiwa "oportunis", dan dukungan saudara-saudara seperjuangan membawa ke Stasium Pasarsenen, setengah empat pagi. SMS mengingatkan sholat Subuh masuk saat menunggu hari terang di bangku stasiun.
Menjaga persepsi agar benar-benar netral memang terkadang perlu. Pun akhirnya kehangatan persaudaraan terasa juga di ruangan berkeliling gambar-tulisan "About Tarbawi". Majalah ini di lahirkan dari jiwa, pikiran itu lebih mendominasi setelah mengelilingi ruangan.
Transfer sesuatu yang lain ada di ruangan saat pelatihan mulai. Ini pelatihan jurnalistik! Mana tingkah, pemikiran dan lontaran liar ala orang lapangan! Oh lupa, ini pembaca majalah Islam. Majalah untuk konsumsi anak Rohis, begitu sering disebut.
Bodo, penasaran seperti apa jurnalisme nurani akhirnya terasa juga pasca menjalani tiga jam pertama. Ini benar-benar sebuah madzhab beneran, setidaknya sampai saat ini. Bukan modifikasi tambal sulam. Bisa jadi ini hal biasa bagi pembacanya yang mengikuti tiap edisi. Tapi tidak bagi yang disuguhi Kompas, Tempo dan Suara Merdeka sebagai sarapan.
Yang jelas, tulisan ini pun telah terwarnai makalah-makalah Zaerofi, Wasilah, Lili Aulia, dan para pemakai nurani di Jalan Pramuka Jati. Jazakumullah, Mas Kis, Mbak Yeni, Ukh Hanika, Bang Agus, dan para penganut aliran nurani pembaca Tarbawi. Semua proses tarbiyah memang indah. Tarbiah adalah Mutiara, begitu Mr-ku mengomentari.